Senin, 29 Maret 2010

TOM N' JERRY LEBARAN

Dalam suasana Id mubarak ini, ada sesuatu yang cukup menggelitik benak saya. Imaji ngawur ini bermula dari film Tom and Jerry yang saya tonton selepas shalat Id kemarin. Saya sempat mengandai-andai, sekiranya saya adalah produser atau sutradara dari film kartun yang mendunia ini, saya akan membuat satu episode di mana Jerry mengucapkan ‘minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan bathin’ kepada Tom; dan saat itu, Tom tak kuasa menahan haru sambil meneteskan air mata karena ketulusan Jerry minta maaf kepadanya. Sekalipun, hal itu akan menyimpang dari misi yang dibawa oleh film ini sebagai sebuah entertainment kocak yang menghibur, menjadi sebuah peragaan melodrama yang latah.


Kita semua tahu, bahwa cerita Tom and Jerry adalah sebuah cerita yang menoton secara substansi, sekalipun dikemas dalam kisah yang berbeda. Sekalipun setting waktu, latar, dan plotnya selalu berganti di tiap episode, namun pada umumnya, Tom and Jerry melukiskan sebuah ‘permusuhan abadi’ antara ‘yang menjahili (Jerry)’ dan ‘yang dijahili (Tom)’. Dan entah kenapa, kemenangan selalu berpihak kepada Jerry yang notabene adalah pengganggu, tukang usil, suka jahil dan beragam label nakal lainnya. Sementara Tom, selalu saja menerima nasib sial, apes, konyol, kalah, dan pecundang.


Bila kita hendak melihatnya secara lebih dalam lagi, kesialan-kesialan Tom bukan sebuah kebetulan yang terjadi secara nature. Bukan cuma sekali dua Tom telah berusaha untuk menghindari kesialan yang ditimbulkan oleh keusilan Jerry. Namun, semakin dia berusaha, semakin banyak pula dia menerima kekalahan-kekalahan. Demikian pula halnya dengan kemenangan-kemenangan Jerry. Hal itu bukan karena sang tikus kecil ini teramat cerdik. Andai dia hanya menggunakan potensi dirinya secara murni, saya yakin Jerry akan menjadi bulan-bulanan Tom. Namun yang terjadi adalah, ada campur tangan sutradara dan produser di dalamnya. Hal ini telah diformat secara baku. Silahkan buat situasi setegang mungkin. Silahkan buat adegan yang menyudutkan Jerry semencekam mungkin, tapi ujung-ujungnya, Jerry harus tetap menang, dan Tom tetap sebagai pecundang.


Fenomena kehidupan sosial dalam tataran realitas, dalam banyak hal hampir tak ada bedanya dengan film Tom and Jerry. Terjadi stratifikasi social yang mengelompokkan manusia dalam dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok yang mujur, suka menjahili, dan selalu menang, sementara kelompok yang lainnya adalah kelompok yang sial, yang selalu dikalahkan dan dijadikan pecundang.


Sepintas, terjadinya dua kelompok ini seolah-olah adalah suratan nasib, dan nyaris semua kita mempercayai bahwa ini memang sudah jadi aturan baku kehidupan. Sehingga ketika adegan pecundang-mempecundangi ini terus diperagakan, kita dengan ikhlas saja menjalaninya. Padahal, sebagian besar kita menempati posisi Tom, yang selalu dijahili dan dipecundangi. Terjadi apatisme akut dalam psikologi sosial kita karena ‘kesan’ bahwa semua ini sudah menjadi takdir. Padahal, apa yang kita sebut takdir itu hanyalah sebuah peragaan system sosial yang dilakukan oleh segelintir manusia yang kebetulan memiliki power untuk mengendalikan kehidupan. Peragaan pola hidup yang individualistik, kapitalistik, dan egoisme yang digelar oleh orang-orang yang memiliki segalanya, membuat kita harus menelan kekalahan demi kekalahan tanpa bisa berbuat apa-apa. Dalam posisi ini, kita tak lebih dari sosok Tom yang hanya bisa mendongkol, menahan geram, dan mengekang amarah ketika tak mampu melawan system yang diformat baku oleh sutradara, untuk memenangkan Jerry sekalipun dalam posisi salah. Kita hanya sanggup untuk pasrah dan tak berdaya.


Yang sedikit berbeda antara film Tom and Jerry dan realitas sosial adalah, dalam film, sosok Jerry selalu menang karena memang dimenangkan oleh naskah cerita dan petunjuk sutradara. Sementara dalam kehidupan sosial, kelompok Jerry selalu dimenangkan oleh sistem yang mereka ciptakan sendiri. Dalam artian, mereka adalah sutradara yang merancang kemenangan-kemenangan untuk Jerry sementara sosok Jerry itu diperankan oleh mereka sendiri.


Sistem ini akan terus berjalan secara berkesinambungan karena ‘paradigma mempecundangi yang lemah’ diwariskan secara turun-temurun di kalangan kelompok Jerry tadi. Melalui beragam produk, paradigma yang ‘kuat yang menang, yang lemah yang pecundang’ ini terus dikampanyekan. Akhirnya, kesan bahwa ‘kami selalu kalah karena nasib’ yang selama ini diyakini oleh kelompok Tom, semakin mengental dalam psikologi sosial dan alam bawah sadar masyarakat kita.


Salah satu media propaganda tentang paradigma ini adalah serial Tom and Jerry tadi, baik lewat komik, maupun serial tv. Serial ini sangat digandrungi oleh anak-anak, sekalipun tak dinafikan banyak juga orang dewasa yang menikmatinya. Dan biasanya, anak-anak yang menonton atau membaca serial ini akan terus tertawa terbahak-bahak melihat kekalahan dan kekonyolan yang timbul karena ketidakberdayaan Tom. Dan karena telah terbiasa menertawai dan menganggap kesialan orang lain adalah hiburan sejak dari kanak-kanak, tanpa sadar hal ini mengendap dalam alam bawah sadar mereka dan membentuk watak dan karakter ketika mereka dewasa. Ironisnya lagi, sebagian besar anak-anak yang bisa menikmati Tom and Jerry hanyalah mereka yang memiliki latar belakang keluarga menengah ke atas. Sehingga regenerasi dan pewarisan ‘paradigma mempecundangi’ ini benar-benar berlangsung dengan sempurna.


Lebaran ini sebenarnya adalah kesempatan kaum Jerry untuk meminta maaf atas semua kezaliman-kezaliman yang merka lakukan kepada kaum Tom selama ini. Sekalipun nanti, setelah lebaran, episode penindasan itu akan kembali berlangsung, tapi paling tidak, ada satu momen untuk mengurangi kejahatan agar tidak makin bertumpuk. Sayang, saya bukan sutradara atau produser Tom and Jerry. Dan kalaupun saya adalah produser atau sutradara, saya juga tak tahu saya ada di kelompok mana. Bisa jadi saya adalah bagian keluarga besar Tom yang terus dipecundangi, atau justru menjadi salah satu durjana dalam kelompok Jerry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar